Wanita Bali: Representasi Seorang “Wonder Woman”
(In Tradition, Modernization, and Ambition)
Selama dua puluh satu tahun hidup sebagai masyarakat Bali yang sangat amat mencintai segala aspek pulau ini termasuk budayanya, saya banyak mengamati bahwa budaya yang dibentuk atas proses yang terus-menerus dalam pola berulang dengan makna dan nilai yang menyelimutinya terlihat begitu unik dari waktu ke waktu dengan segala adaptasinya dalam modernisme. Budaya adalah salah satu aspek yang membentuk dan mengikat secara kohesif suatu struktur hubungan sosial, praktik sosial, dan sistem tatanan dalam suatu kelompok masyarakat. Di abad ini dengan perputaran arus teknologi dan media yang sangat cepat, perspektif budaya tidak hanya dapat digambarkan dari sosiologis, antropologis, dan historis namun budaya terus meluas hingga mengurangi batas geopolitik, ekonomi, dan celah budaya lain di seluruh dunia. Hal ini juga mempengaruhi sisi sosial maupun kolektif identitas dalam masyarakat.
Lahir di keluarga Bali yang “semi” konservatif-saya menyebutnya demikian karena jika dikatakan konservatif, keluarga saya sangat terbuka dengan hal-hal yang bersifat liberalisme modern tapi masih memegang teguh akar tradisi-membentuk saya menjadi wanita yang memiliki kebebasan dalam berpendapat dan mengembangkan diri, namun dituntut tetap berhati-hati dan melihat segala sesuatu dari berbagai sisi, termasuk bagaimana “lazim”-nya keputusan yang nantinya akan saya buat.
Ya, begitulah cara dunia bekerja di sekeliling saya. Keputusan harus dibuat dengan matang karena pertimbangannya tidak hanya mengenai diri sendiri, namun harus didasari pula dengan sebab-akibat untuk keluarga dan masyarakat. Pola ini juga yang masih terus saya pelajari dari keluarga dan Ibu saya sebagai seorang wanita. Saya paham, hal ini tidak bisa lepas kaitannya dengan peran dinamis sebagai wanita Bali dalam kehidupannya.
Dituntut sebagai seorang istri dan ibu begitu melepas masa lajangnya dan bertanggung jawab bersama suami dalam membentuk dan membangun keluarga termasuk dalam mengambil peran finansial dalam keluarga, dibarengi menjadi bagian dari masyarakat adat (krama adat) begitu resmi menjalani upacara pernikahan, dan tidak luput dalam menjalani karirnya dan berkontribusi langsung untuk masyarakat, serta dituntut untuk maksimal di setiap perannya membuat saya begitu kagum akan tangguhnya wanita Bali, termasuk Ibu saya.
Di Bali sendiri, budaya tidak hanya dibangun oleh struktur sosial tetapi juga oleh konsep Hindu sebagai mayoritas agama yang dipeluk masyarakatnya. Keunikan dinamika sosial budaya masyarakat Bali tercermin dari kegiatan sosial yang dilakukan masyarakatnya dalam rentetan persiapan hingga pelaksanaan suatu upacara keagamaan yang melibatkan kontribusi langsung dari krama adat, termasuk peran dan kontribusi wanita Bali itu sendiri.
Mosser (1989) mengemukakan bahwa wanita Bali tidak hanya memiliki peran ganda, tetapi tiga peran sekaligus. Peran tersebut adalah peran domestik, peran ekonomi, dan peran sosial. Citra “konvensional” wanita dinyatakan sebagai pengayom suami dan anak-anaknya. Namun, uniknya wanita Bali juga memiliki citra sebagai penggerak ekonomi keluarga dan peran sosial dalam masyarakat “adat”. Hal inilah yang menggambarkan wanita Bali sebagai “Wonder Women”.
Istilah ‘wanita’ berasal dari kata rakta swanita yang berarti benih wanita. Wanita dalam Bhagavad Gita 10.34, salah satu kitab suci umat Hindu, digambarkan sebagai perwujudan intelektualitas, pengetahuan, kemakmuran, dan kesetiaan (satvam). Hal ini juga yang mendasari ajaran Tri Sakti dalam agama Hindu, yaitu tiga kekuatan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati, Dewi Laksmi, dan Dewi Durga dalam menjaga alam semesta. Gambaran atas nilai-nilai tersebut dalam masyarakat Bali mencerminkan wanita adalah sosok yang kuat dan tangguh dengan keindahan yang selalu melekat padanya.
Hidup sebagai seorang perempuan Bali yang sering melihat kehidupan nyata wanita Bali yang diperagakan langsung oleh Ibu saya sesungguhnya membuat saya begitu kagum. Saya selalu ingin menuliskan bagaimana wanita memaknai kehidupan, nilai, dan perannya baik sebagai individu maupun makhluk sosial terlebih dalam era globalisasi yang pesat ini. Khususnya sebagai wanita Bali yang memiliki tiga peran penting.
Peran Domestik
Perkawinan dalam tradisi Bali menganut sistem Patrilineal, yaitu sistem yang mengatur keturunan atau hak ahli waris berada pada suami atau laki-laki. Wanita dalam sebuah perkawinan Bali dilepaskan oleh keluarga untuk menjadi bagian keluarga suami. Inilah awal dari peran seorang wanita Bali. Melalui rentetan upacara keagamaan, mempelai wanita resmi memasuki rumah mempelai pria sebagai seorang istri dan diakui resmi secara adat oleh krama adat dari pihak mempelai pria.
Pernikahan inilah yang menjadi pintu masuk dari tiga peran wanita Bali.
Dalam berkeluarga, wanita Bali menjalankan peran domestiknya yang bertanggung jawab sebagai seorang istri dan ibu. Prinsip dalam berkeluarga yang dianut oleh wanita Bali adalah untuk menjadi istri yang ideal, mampu mengasuh anak-anaknya menjadi anak yang suputra, dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Peran domestik inilah yang paling vital dan paling elusif, karena dalam kehidupan memasuki rumah dan lingkungan baru dengan tanggung jawab yang begitu besar bukanlah hal yang mudah, tapi nyatanya mereka dapat mengemban tugas hidup sampai mati ini dengan begitu mengagumkan. Walau saya belum nikah, namun apa yang saya amati dari lingkungan saya bahwa sejatinya suatu perkawinan dan perjalanan membesarkan anak adalah salah satu aktualisasi peran wanita yang paling mengagumkan.
Peran Ekonomi
Tidak hanya peran domestik sebagai seorang istri dan ibu, wanita Bali juga ikut ambil bagian dalam menunjang karir dan ekonomi keluarganya. Ada berbagai alasan mengapa wanita Bali memainkan peran ini. Beberapa diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membantu suami dalam memenuhi ekonomi keluarga, dan menjalankan visinya dalam meniti karir.
Dihimpun dari data Kementerian Perempuan dan Anak dalam Profil Perempuan Indonesia (2019), persentase perempuan bekerja antar provinsi di Indonesia menempatkan provinsi Bali dengan persentase tertinggi yaitu sebesar 68,49%. Hal ini tentu menunjukkan budaya kerja dan ambisi wanita Bali yang tinggi. Bahkan seringkali wanita harus memilih antara bekerja dalam jenjang karir yang sudah baik atau mengurus rumah tangga. Data menunjukkan, wanita pada tahun 2019 yang berstatus sebagai ibu rumah tangga dan meninggalkan pekerjaannya sebagai wanita karir mencapai 68,20%. Data ini menjadi salah satu indikator yang menunjukkan bahwa tugas menjadi seorang ibu rumah tangga memang sama beratnya dengan menjadi seorang wanita karir. Sehingga, diskriminasi atas peran wanita tidak dapat dibenarkan atas dasar apapun.
Namun ada fenomena yang mencengangkan. Data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Laporan Perekonomian 2019 menyatakan bahwa pekerja wanita digaji lebih rendah dari pekerja laki-laki. Hal serupa tidak hanya dicatat oleh BPS Indonesia, data survey dari berbagai negara dengan topik sejenis juga mendapatkan kesimpulan yang serupa. Perbedaan ini didasari dengan asumsi pria dianggap menanggung anak dan istri, sedangkan wanita dihitung sebagai seorang individu. Selain itu, alasan lainnya adalah banyak wanita yang tidak menegosiasikan gaji saat wawancara kerja dengan alasan takut mempengaruhi proses penerimaan, berbeda dengan laki-laki yang berani bernegosiasi saat melamar pekerjaan. Hal ini tentu menjadi tamparan dalam pemberdayaan wanita untuk menanamkan nilai diri dan tidak meragukan diri sendiri.
Peran Sosial
Dalam tradisi Bali, seluruh kegiatan sosial dikelola dan diselenggarakan oleh adat. Anggota masyarakat dari desa adat inilah yang disebut dengan krama adat yang merupakan pasangan suami istri yang tinggal atau berasal dari desa tersebut. Wanita Bali yang sudah menikah berarti sudah menjadi bagian dari anggota masyarakat adat (krama istri) di banjar desa asal sang suami (krama lanang). Tradisi Hindu Bali mulai dari persiapan, pemberian sesajen (mebanten), ikut gotong royong masyarakat (ngayah) di Pura, maupun memberikan bantuan dalam upacara keagamaan (ngo’pin) merupakan kewajiban dan hasil gotong-royong dari peran sosial wanita Bali sebagai krama adat.
Peran ketiga ini adalah peran yang mendeskripsikan wanita Bali sebagai karakter yang cerdas, kuat, ramah, dan pandai bersosialisasi. Suryani (1992), menerangkan bahwa budaya Bali dengan wanita Bali memiliki hubungan yang erat, dimana nilai-nilai dalam tradisi Bali adalah landasan perilaku wanita Bali dan sebaliknya, nilai-nilai yang tertanam pada wanita Bali dianggap ikut ambil peran dalam mengkonstruksi karakter Bali itu sendiri.
Di dunia yang kian tak berjarak dengan arus kencang globalisasi dan teknologi menimbulkan tantangan baru salah satunya adalah pencarian identitas. Pencarian identitas tidak semata-mata diartikan bahwa seseorang akan meninggalkan asal dan akarnya lalu mengubahnya dengan yang baru, karena dalam diri setiap individu tentunya memiliki pengalaman dan alasan yang mempertahankan identitas sosial mereka. Sehingga, konsepsi budaya saat ini tidak dapat dipisahkan dari konsepsi globalisasi.
Wanita Bali, termasuk saya menghadapi dilema dalam mempertahankan peran vital di tengah wajah masyarakat sosial yang terus menerus berubah sejalan dengan globalisasi. Namun, wanita Bali yang mulai menerapkan peran-perannya, belajar, dan melihat segala hal dari berbagai sisi akan perlahan menemukan identitasnya. Keterbukaan masyarakat akan suatu proses dan keputusan seseorang juga ikut ambil bagian, sehingga diharapkan tidak menimbulkan ambivalensi pada masing-masing individu.
Wanita Bali memiliki pandangan bahwa globalisasi tidak perlu dihindari tapi dijinakkan dengan memberi makna lebih pada nilai budaya dan sosialisasi peran gender dalam peran domestik, ekonomi, dan sosial. Begitulah nilai-nilai eksternal diterima sebagai pandangan dan perspektif baru untuk dipelajari dan dipetik nilai yang memang sesuai. Karena sejatinya identitas sosial wanita Bali dibentuk berdasarkan nilai sosial lingkungan, geografi, historis, dan yang paling penting persepsi individu itu sendiri.
Referensi
Alcoff, L.M and E. Mendietta. (ed). (2003) Identities: Race, Class, Gender and Nationality. Malden-MA: Blackwell Publishing.
Bagus, I.G.N. (1987) Kebudayaan Bali. in Koentjaraningrat (ed), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Bhabha, H. (1998) Cultures in Between, in David Bennet (ed), Multicultural States, Rethinking Differences and Identity. London: Routledge.
Covarrubias, M. (1937) Island of Bali. New York: Knopf.
Giddens, A. (1999) Runway World: How Globalization is Reshaping Our Lives. London: Profile Books.
Geertz, C. (1959) “Form and Variation in Balinese Village Structure”, American Anthropologist, New Series, Dec., 1959), Vol. 61, №6 : 991 -1012.
Howe, L. (2001) Hinduism and Hierarchy in Bali, World Anthropology. Oxford/Santa Fe: James Currey/School of American Research Press.
KPPA dan BPS. (2019) Profil Perempuan Indonesia 2019, Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistik.
Moser, C.O.N. (1989) “Gender Planning in the Third World: Meeting Practical and Strategic Gender Need”, World Development, Vol. 17 (11) : 1799–1805.
Nakatani, A. (2004) “Perempuan Bali dalam Tiga Peran”, Majalah Mingguan Tokoh. №298/Tahun VI, 29 Agustus–4 September, pp. 23–29.